Jumlah Personel di BPP Grogol saat ini ada 4 orang.dari kiri ke kanan adalah sbb:
1. Trisno Harijanto, SP selaku Koordinator PP,
2. Ir. Riyono Susilo, selaku PPL WDB II yang meliputi 5 desa yaitu: Bakalan, Datengan, Wonoasri, Sonorejo dan Gambyok, terdiri 18 Poktan, 5 Gapoktan, 2 KWT, dan 2 program PUAP
3. Djoko Triyono, SP, selaku Penyuluh Kehutanan yang membina semua desa sekecamatan Grogol.
4. Prasetyo Utomo, selaku PPL WDB I yang meliputi 4 Desa yaitu: Kalipang, Cerme, Grogol dan Sumberjo, terdiri 23 Poktan, 4 Gapoktan, 2 KWT, dan 1 program PUAP.
Meskipun mengalami keterbatasan SDM, Namun semua personil bertekad memberikan yang terbaik demi kemajuan petani dan dunia pertanian di Kec. Grogol. Viva Penyuluih...........................
HET Pupuk Bersubsidi (per kg)
HET Pupuk Bersubsidi ( per Kg)
Urea........: Rp 1.800
SP-36......: Rp 2.000
ZA............: Rp 1.400
NPK.........: Rp 2.300
Organik...: Rp 500
Urea........: Rp 1.800
SP-36......: Rp 2.000
ZA............: Rp 1.400
NPK.........: Rp 2.300
Organik...: Rp 500
Kamis, 24 Mei 2012
Rabu, 23 Mei 2012
Perjalanan Perakitan dan Perkembangan VUB Padi
Sumber Gambar: http://wongtaniku.files.wordpress.com |
Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat luas.
Khusus untuk padi, Indonesia memiliki beberapa padi liar dengan
keragaman spesies yang tinggi dan memiliki sekitar 17.000 asesi plasma
nutfah. Keragaman spesies ini merupakan modal dasar yang sangat berharga
untuk perakitan dan perbaikan varietas padi.
Dalam periode 1995-2003, Balitpa telah melepas sebanyak 57 VUB. Di antara VUB tersebut, termasuk Maro dan Rokan, yang merupakan padi hibrida dan Fatmawati, yang merupakan padi tipe baru. Padi hibrida dan tipe baru tersebut memiliki produktivitas 10- 20% lebih tinggi dari varietas yang dilepas sebelumnya.
Perjalanan perakitan dan perkembangan VUB padi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode utama, yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-1984, dan periode 1984 atau periode pasca swasembada beras.
Periode sebelum 1970
Perakitan dan pengembangan VUB padi dimulai pada sekitar tahun 1920 (Harahap etal.1972). Pada masa itu hingga sekitar tahun 1960, perakitan dan pengembangan varietas padi diarahkan untuk memperoleh varietas yang mampu memanfaatkan air yang terbatas di lahan tadah hujan.
Varietas padi yang pertama dihasilkan adalah Bengawan, yang dilepas pada tahun 1943. Varietas ini merupakan perbaikan varietas Cina dali Cina, Latisail dari India, dan Benong dari Indonesia. Varietas Bengawan berumur 140-155 hari, memiliki tinggi 145-165 cm, memiliki rasa nasi enak, dan berdaya hasiI 3,5-4,0 t/ha. Beberapa varietas lain tipe Bengawan Sigadis (1953), Remaja (1954), Jelita (1955), Dara (1960), Sinta (1963), Dewi Tara (1964), Arimbi (1965), Bathara(1965), dan Dewi Ratih (1969). Pada periode ini juga diintroduksi dua varietas dari International Rice Research lnstitute (IRRI), yaitu PB-8 pada tahun (1967) dan PB-5 pada tahun 1968. Kedua varietas memiliki beberapa sifat penting, yaitu agak pendek (semi dwarf) sehingga tahan rebah, anakan banyak, responsif terhadap pupuk terutarna pupuk nitrogen, dan rnemiliki potensi hasil 4,5-5,5 t/ ha.
Periode 1970-1984
Pada periode ini perakitan dan pengembangan VUB padi makin diintensifkan. Perakitan dilaksanakan melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian baik nasional maupun intemasional, seperli IRRI. Rasa nasi yang kurang enak yang dimiliki oleh PB-5 dan PB-8, menuntut perakitan varietas memperoleh \TUB yang juga memiliki rasa nasi enak seperti yang dimiliki oleh varietas-varietas padi sebelumnya. Kedua varietas diperbaiki dengan menyilangkan PB¬5 dengan Sintha yang menghasilkan Pelita 1-1 dan Pelita 1-2 yang dilepas pada tahun 1971. Kedua Pelita memiliki daya hasil yang tinggi dan rasa nasi yang lebih enak dibanding PB-5. Pelita 1-1 dan Pelita 1-2 disukai oleh sebagian besar petani Indonesia dan sempat mendominasi pertanaman lahan sawah di beberapa sentra produksi. Pertanaman monokultur dan terdiri dari varietas padi yang "ternyata" peka terhadap wereng coklat, memicu timbulnya hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) yang sangat merusak dan merugikan. Pada waktu perakitan Pelita 1-1 dan Pelita 1-2, hama wereng coklat belum menjadi masalah pada tanaman padi dan varietas padi yang dirakit belum dirancang untuk tahan terhadap hama ini.
Sejak pengalaman itu program perakitan dan pengembangan varietas padi diarahkan tidak hanya untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil tetapi juga untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit utama. Untuk itu, maka selanjutnya dirakit dan dikembangkan sejumlah varietas baru seperti Serayu, Asahan, Brantas, dan, Citarum yang dilepas pada 1978; Semeru dan Cisadane pada 1980; Cipunagara dan Krueng Aceh pada (1981); Sadang pada 1983; dan Cikapundung pada 1984. Di antara varietas-varietas tersebut, Cisadane yang tahan wereng coklat biotipe 1 dan 2, merupakan varietas yang paling populer pada periode tersebut dan menjadi kontributor utarna bagi tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun kemudian, popularitas varietas Cisadane menurun tajam bersamaan dengan berkembangnya wereng coklat biotipe 3. Untuk mengatasi masalah ini dengan cepat dilakukan introduksi beberapa galur dari IRRI, dan satu di antaranya adalah IR-64, dilepas tahun 1986, di samping tahan terhadap wereng coklat biotipe 3, juga memiliki rasa nasi enak.
Periode Pasca Swasembada Berns, 1984
Sejak dilepas, IR-64 sangat cepat berkembang. \Tarietas ini merupakan varietas yang paling luas ditanam di Indonesia sempat mencapai luas 61,6% disusul oleh varietas lokal (10,3%), Memberamo (7,9%), Way Apoburu (8,3%), IR-66 (6,3%), dan Cisadane (5,7%). Walaupun makin menurun dan mulai digeser \TUB lainnya, tetapi sampai 2003 IR-64 masih mendominasi pertanaman padi di 12 propinsi penghasil utama padi dengan porsi 45,4% dari luas panen 9,2 juta hektar.
Upaya untuk meningkatkan potensi hasil didekati melalui pemanfaatan keunggulan heterosis dengan perakitan varietas padi hibrida dan pembentukan padi tipe baru (PTB). Berbagai varietas yang dilepas setelah IR-64 antara lain adalah Ciliwung dan Way Seputih yang dilepas pada 1989; Barumun, dilepas pada 1991; Memberamo, pada 1995, Way Apo Buru, pada 1998; Widas, pada 1999; Ciherang dan Tukad Unda, pada 2000; Konawe dan Sintanur (aromatik), pada 2001; Cimelati (semi PTB), Gilirang (semi PTB aromatik} , Maro (hibrida), dan Rokan (hibrida), pada 2002; dan Fatmawati (PTB), pada 2003.
Keragaan Beberapa Varietas Unggul di Lapangan
Penelitian di Sukamandi (MK 2002-MH 2002/03) menunjukkan beberapa varietas seperti VUTB Fatmawati, Gilirang, Ciherang, dan varietas hibrida Maro dan Rokan memberi hasil masing-masing 24,1%, 15,6%, 1,7%, 14,1%, dan 13,5 % lebih tinggi dibanding IR-64 (6,6 tJha). Sementara di petak demonstrasi pada MT 2003 di lahan petani di Takalar, Sulawesi Selatan, varietas Fatmawati, Gilirang, Ciherang, Cigeulis, Cisantana, Cimelati, dan hibrida Maro serta Rokan yang ditanam dengan pendekatan PTT masing-masing memberi hasil 31,2%, 12,9%, 15,9%, 12,9%, 2,5%, 8,3%, 24,1%, dan 20,9% lebih tinggi dibandingkan dengan Ciliwung (6,8 t/ha).
Dalam Program P3T di lahan petani di 28 lokasi pada MT 2002-03, VUB yang ditanam dengan pendekatan PTT memberikan hasil 9,8 - 3 4,3% lebih tinggi dibanding VUB yang sama yang ditanam secara non-PTT. Dari pengkajian ini terungkap varietas Ciherang, Way Apo Buru, Memberamo, Bondoyudo, Tukad Belian, Gilirang, Fatmawati, Rokan, Maro, Sintanur, Code, Batang Gadis, Towuti dan Cirata masing-masing mampu memberikan hasil 15; 14,4; 10,8; 17,3; 0,9; 12,5; 23; 33,3; 30,7; 11,2; 14,3; 17,4; 4,9; dan 2,9% lebih tinggi daripada IR64 yang memiliki produktivitas 6,8 t/ha.
Dalam periode 1995-2003, Balitpa telah melepas sebanyak 57 VUB. Di antara VUB tersebut, termasuk Maro dan Rokan, yang merupakan padi hibrida dan Fatmawati, yang merupakan padi tipe baru. Padi hibrida dan tipe baru tersebut memiliki produktivitas 10- 20% lebih tinggi dari varietas yang dilepas sebelumnya.
Perjalanan perakitan dan perkembangan VUB padi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode utama, yaitu periode sebelum tahun 1970, periode 1970-1984, dan periode 1984 atau periode pasca swasembada beras.
Periode sebelum 1970
Perakitan dan pengembangan VUB padi dimulai pada sekitar tahun 1920 (Harahap etal.1972). Pada masa itu hingga sekitar tahun 1960, perakitan dan pengembangan varietas padi diarahkan untuk memperoleh varietas yang mampu memanfaatkan air yang terbatas di lahan tadah hujan.
Varietas padi yang pertama dihasilkan adalah Bengawan, yang dilepas pada tahun 1943. Varietas ini merupakan perbaikan varietas Cina dali Cina, Latisail dari India, dan Benong dari Indonesia. Varietas Bengawan berumur 140-155 hari, memiliki tinggi 145-165 cm, memiliki rasa nasi enak, dan berdaya hasiI 3,5-4,0 t/ha. Beberapa varietas lain tipe Bengawan Sigadis (1953), Remaja (1954), Jelita (1955), Dara (1960), Sinta (1963), Dewi Tara (1964), Arimbi (1965), Bathara(1965), dan Dewi Ratih (1969). Pada periode ini juga diintroduksi dua varietas dari International Rice Research lnstitute (IRRI), yaitu PB-8 pada tahun (1967) dan PB-5 pada tahun 1968. Kedua varietas memiliki beberapa sifat penting, yaitu agak pendek (semi dwarf) sehingga tahan rebah, anakan banyak, responsif terhadap pupuk terutarna pupuk nitrogen, dan rnemiliki potensi hasil 4,5-5,5 t/ ha.
Periode 1970-1984
Pada periode ini perakitan dan pengembangan VUB padi makin diintensifkan. Perakitan dilaksanakan melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian baik nasional maupun intemasional, seperli IRRI. Rasa nasi yang kurang enak yang dimiliki oleh PB-5 dan PB-8, menuntut perakitan varietas memperoleh \TUB yang juga memiliki rasa nasi enak seperti yang dimiliki oleh varietas-varietas padi sebelumnya. Kedua varietas diperbaiki dengan menyilangkan PB¬5 dengan Sintha yang menghasilkan Pelita 1-1 dan Pelita 1-2 yang dilepas pada tahun 1971. Kedua Pelita memiliki daya hasil yang tinggi dan rasa nasi yang lebih enak dibanding PB-5. Pelita 1-1 dan Pelita 1-2 disukai oleh sebagian besar petani Indonesia dan sempat mendominasi pertanaman lahan sawah di beberapa sentra produksi. Pertanaman monokultur dan terdiri dari varietas padi yang "ternyata" peka terhadap wereng coklat, memicu timbulnya hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) yang sangat merusak dan merugikan. Pada waktu perakitan Pelita 1-1 dan Pelita 1-2, hama wereng coklat belum menjadi masalah pada tanaman padi dan varietas padi yang dirakit belum dirancang untuk tahan terhadap hama ini.
Sejak pengalaman itu program perakitan dan pengembangan varietas padi diarahkan tidak hanya untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil tetapi juga untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit utama. Untuk itu, maka selanjutnya dirakit dan dikembangkan sejumlah varietas baru seperti Serayu, Asahan, Brantas, dan, Citarum yang dilepas pada 1978; Semeru dan Cisadane pada 1980; Cipunagara dan Krueng Aceh pada (1981); Sadang pada 1983; dan Cikapundung pada 1984. Di antara varietas-varietas tersebut, Cisadane yang tahan wereng coklat biotipe 1 dan 2, merupakan varietas yang paling populer pada periode tersebut dan menjadi kontributor utarna bagi tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun kemudian, popularitas varietas Cisadane menurun tajam bersamaan dengan berkembangnya wereng coklat biotipe 3. Untuk mengatasi masalah ini dengan cepat dilakukan introduksi beberapa galur dari IRRI, dan satu di antaranya adalah IR-64, dilepas tahun 1986, di samping tahan terhadap wereng coklat biotipe 3, juga memiliki rasa nasi enak.
Periode Pasca Swasembada Berns, 1984
Sejak dilepas, IR-64 sangat cepat berkembang. \Tarietas ini merupakan varietas yang paling luas ditanam di Indonesia sempat mencapai luas 61,6% disusul oleh varietas lokal (10,3%), Memberamo (7,9%), Way Apoburu (8,3%), IR-66 (6,3%), dan Cisadane (5,7%). Walaupun makin menurun dan mulai digeser \TUB lainnya, tetapi sampai 2003 IR-64 masih mendominasi pertanaman padi di 12 propinsi penghasil utama padi dengan porsi 45,4% dari luas panen 9,2 juta hektar.
Upaya untuk meningkatkan potensi hasil didekati melalui pemanfaatan keunggulan heterosis dengan perakitan varietas padi hibrida dan pembentukan padi tipe baru (PTB). Berbagai varietas yang dilepas setelah IR-64 antara lain adalah Ciliwung dan Way Seputih yang dilepas pada 1989; Barumun, dilepas pada 1991; Memberamo, pada 1995, Way Apo Buru, pada 1998; Widas, pada 1999; Ciherang dan Tukad Unda, pada 2000; Konawe dan Sintanur (aromatik), pada 2001; Cimelati (semi PTB), Gilirang (semi PTB aromatik} , Maro (hibrida), dan Rokan (hibrida), pada 2002; dan Fatmawati (PTB), pada 2003.
Keragaan Beberapa Varietas Unggul di Lapangan
Penelitian di Sukamandi (MK 2002-MH 2002/03) menunjukkan beberapa varietas seperti VUTB Fatmawati, Gilirang, Ciherang, dan varietas hibrida Maro dan Rokan memberi hasil masing-masing 24,1%, 15,6%, 1,7%, 14,1%, dan 13,5 % lebih tinggi dibanding IR-64 (6,6 tJha). Sementara di petak demonstrasi pada MT 2003 di lahan petani di Takalar, Sulawesi Selatan, varietas Fatmawati, Gilirang, Ciherang, Cigeulis, Cisantana, Cimelati, dan hibrida Maro serta Rokan yang ditanam dengan pendekatan PTT masing-masing memberi hasil 31,2%, 12,9%, 15,9%, 12,9%, 2,5%, 8,3%, 24,1%, dan 20,9% lebih tinggi dibandingkan dengan Ciliwung (6,8 t/ha).
Dalam Program P3T di lahan petani di 28 lokasi pada MT 2002-03, VUB yang ditanam dengan pendekatan PTT memberikan hasil 9,8 - 3 4,3% lebih tinggi dibanding VUB yang sama yang ditanam secara non-PTT. Dari pengkajian ini terungkap varietas Ciherang, Way Apo Buru, Memberamo, Bondoyudo, Tukad Belian, Gilirang, Fatmawati, Rokan, Maro, Sintanur, Code, Batang Gadis, Towuti dan Cirata masing-masing mampu memberikan hasil 15; 14,4; 10,8; 17,3; 0,9; 12,5; 23; 33,3; 30,7; 11,2; 14,3; 17,4; 4,9; dan 2,9% lebih tinggi daripada IR64 yang memiliki produktivitas 6,8 t/ha.
Sumber :Cyber Extension
Selasa, 22 Mei 2012
Never Old to Learn
Memang "tidak bisa" itu mutlak, tetapi kalau mau belajar akan menambah pengetahuan kita. Kata "bisa" memang relatif dan mungkin juga tidak pernah tercapai, namun dengan berlatih maka kita akan semakin banyak tahu, paham dan semakin lebih banyak ketrampilan yang kita bisa (artinye semakin mendekati kata "bisa").
Bukankah iitu indah untuk kita bisa lakukan? mari kita sebagai Penyuluh Pertanian bisa terus belajar tanpa ada kata lelah untuk mempersiapkan hari esok yang lebih baik. untuk kita,keluarga, petani dan dunia pertanian yang kita cintai. Hidup Penyuluh...........
Bukankah iitu indah untuk kita bisa lakukan? mari kita sebagai Penyuluh Pertanian bisa terus belajar tanpa ada kata lelah untuk mempersiapkan hari esok yang lebih baik. untuk kita,keluarga, petani dan dunia pertanian yang kita cintai. Hidup Penyuluh...........
Senin, 21 Mei 2012
Depok – Pemerintah
mengapresiasi program One Day No Rice (Satu Hari Tanpa Nasi) yang dicanangkan oleh Pemkot Depok
setiap hari Selasa. Hal ini disampaikan Menteri Pertanian, Dr. Ir. Suswono, MMA saat menghadiri
sosialisasi kegiatan tersebut di Gedung Pemerintah Kota Depok pada Selasa (3/4/2012). ”Upaya Pak
Walikota ini merupakan bagian dari upaya nasional untuk mewujudkan percepatan penganekaragaman atau
diversifikasi pangan yang telah dicanangkan dua tahun lalu di Mataram, NTB,” kata Mentan
Menurut Mentan, program tersebut merupakan salah satu langkah nyata
untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat melalui program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan. “Melalui program One Day No Ricei ini masyarakat diminta untuk mengurangi konsumsi
nasi dari beras sebagai makanan pokok dan mulai mengganti dengan makanan pokok lain dengan bahan
dari jenis umbi – umbian,” jelas Mentan.
Selama ini,
pemerintah telah berusaha keras mengubah pola konsumsi pangan masyarakat dengan tujuan untuk merubah
mindset masyarakat atau pola pikir ke arah pola makan yang beragam, bergizi seimbang, aman dan halal
serta menurunkan rata – rata konsumsi beras/ kapita sebesar 1,5 persen/tahun. ”Selera dan kebiasaan
makan kan terkait dengan pola pikir yang dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh
karena itu sangatlah sulit untuk mengubahnya, sehingga diperlukan sosialisasi yang terus – menerus,
salah satu caranya dengan mengubah mindset atau pola pikir masyarakat,” urai Mentan.
Sebagaimana diketahui, tingkat konsumsi per kapita Indonesia sebesar
139 kg/ tahun. Sementara untuk konsumsi kelompok padi – padian (beras, jagung dan terigu) rumah
tangga sebesar 316/gram per kapita/hari, padahal menurut Standar Pola Pangan Harapan (PPH)
seharusnya 275 gram/hari saja. Sementara itu, konsumsi umbi –umbian hanya 40 gram per kapita per
hari, jumlah ideal 100 gram per kapita per hari. ”Banyak yang kelebihan berat badan di masyarakat
kita, dan Indonesia peringkat empat dunia pengidap penyakit diabetes,” kata Mentan.
Lebih lanjut dikatakan Mentan, pola konsumsi pangan masyarakat
Indonesia pada saat ini umumnya masih timpang, belum beragam dan bergizi seimbang. Skor PPH pada
tahun 2011 baru mencapai 77,3 dari skor ideal 100. Skor tersebut muncul karena masyarakat terlalu
banyak mengonsumsi beras, sementara konsumsi karbohidrat dari sumber pangan umbi – umbian relatif
kecil dan cenderung menurun, padahal konsumsi terigu meningkat terus. Selain itu, konsumsi pangan
sumber protein, vitamin dan mineral juga masih relatif rendah. “Konsumsi daging per kapita baru
sekitar 6,5 kg/kapita, jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi di negara ASEAN lainnya,”
ungkapnya.
Sumber: Biro Umum dan Humas, Sumber Diperta Kab. Kediri
|
Rekomendasi Pemupukan
Sebagi bahan pengingat aja, rekomendasi pemupukan untuk Kediri dan sekitarnya sebagai berikut:
REKOMENDASI PEMUPUKAN
NO.
|
KOMODITI
|
UREA
(Kg/Ha)
|
SP.36
(Kg/Ha)
|
ZA
(Kg/Ha)
|
PHONSKA
(Kg/Ha)
|
ORGANIK
(Kg/Ha)
|
1
|
Padi
|
350
|
100
|
100
|
200
|
|
2
|
Jagung
|
400
|
100
|
100
|
200
|
|
3
|
Kedele
|
50
|
100
|
200
|
100
|
|
4
|
Ubi kayu
|
400
|
100
|
100
|
0
|
|
5
|
Ubi jalar
|
250
|
50
|
100
|
0
|
|
6
|
Kacang tanah
|
200
|
100
|
100
|
50
|
|
7
|
Kacang hijau
|
50
|
100
|
100
|
50
|
|
8
|
Bawang merah
|
0
|
200
|
400
|
800
|
|
9
|
Cabe besar
|
0
|
200
|
100
|
1200
|
|
10
|
Cabe kecil
|
250
|
200
|
400
|
100
|
|
11
|
Tomat
|
0
|
0
|
400
|
200
|
|
12
|
Kacang panjang
|
0
|
0
|
100
|
100
|
|
13
|
Timun
|
0
|
0
|
100
|
100
|
|
14
|
Tebu
|
0
|
0
|
400
|
500
|
dari berbagai sumber
Kementan Prioritaskan Pengembangan Program P2BN
DALAM rangka
mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, Kementerian Pertanian (Kementan)
memprioritaskan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN).
Penetapan prioritas tersebut untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Guna mewujudkan ketahanan pangan nasional tersebut, pemerintah khususnya Kementan tahun 2011 ini, telah menetapkan target produksi padi nasional sebesar 70,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat tujuh persen dibandingkan produksi tahun 2010.
Berdasarkan angka ramalan (ARAM II) BPS produksi pada nasional tahun 2011 sebesar 68,062 juta ton GKG, sementara angka tetap 2010 ARAM II padi meningkat 1,592 juta ton GKP (2,4 persen).
"Jika di bandingkan dengan target produksi padi tahun 2011, masih terdapat kekurangan produksi padi 2,538 juta ton GKG (3,59 persen)," kata Menteri Pertanian (Mentan) Suswono usai melakukan panen perdana di Desa Gegesik Kolun, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Sabtu (10/9).
Untuk mengejar kekurangan target produksi sebesar 2,538 juta ton GKG tersebut, Kementan melakukan upaya percepatan dengan cara peningkatan produktivitas padi di areal SL-PTT dan non SL-PTT, bantuan benih unggul dan bantuan langung pupuk, irigasi, dan bantuan alat mesin pertanian serta pendamping atau penyuluh pertanian.
Suswono mengingatkan, agar setiap bupati di Indonesia tidak mudah memberikan izin alih fungsi lahan di daerahnya. Karena alih fungsi lahan saat ini sudah sangat memprihatinkan.
"Saya sangat prihatin atas banyaknya alih fungsi lahan ini. Sekarang sawah dikepung bangunan di tengah tegah sawah ada rumah. Lahan produktif kita banyak yang beralihfungsi, padahal kekurangan pangan adalah masalah besar," tuturnya.
Menurutnya, pengembangan demonstrasi farm (demfarm) di lima kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, dan kabupaten Karawang merupakan salah satu contoh kolaborasi yang baik antara petani, peneliti, penyuluh, POPT dan stakeholders dari kalangan BUMN.
Sementara itu, dalam sambutannya, Bupati Cirebon Dedi Supardi yang dibacakan Wakil Bupati Ason Sukasa mengatakan, dalam rangka peningkatan produksi beras nasional dilakukan demonstrasi farm di dua lokasi di Kabupaten Cirebon seluas masing-masing lima hektar.
Pertama, di Desa Pekantingan, Kecamatan Klangenan, dan kedua, di Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik. Kegiatan ini merupakan kerja sama kemitraan antara Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, PT Pupuk Kujang, PT Petro Kimia Kayaku, PT Sang Hyang Sri, dan BKP5K Kabupaten Cirebon. Teknologi yang diterapkan, meliputi pembelajaran sekolah lapang agribisnis padi.
Di Desa Pekantingan, produktivitas padi mencapai 8,3 ton GKP. Adapun di Desa Gegesik mencapai 9,8 ton GKP. Sebelumnya, produktivitas padi di dua desa itu hanya 7 ton GKP. Varietas padi yang digunakan Ciherang produksi PT Sang Hyang Sri.
Adapun uji coba yang dilakukan di desa Ciawi, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, dengan varietas Inpari 13 mencapai produktivitas 9 ton GKP.
"Melihat hasil itu, menunjukkan produktivitas padi masih bisa ditingkatkan. Para petani berharap model serupa bisa dikembangkan di daerah lain, karena terbukti mampu meningkatkan pendapatan bagi petani," kata Dedi Supardi.
Pada panen tahun ini, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berhasil menghasilkan 9,6 juta ton gabah kering panen (GKP).
Meski dihadapi beberapa kendala dalam sektor pertanian, Kabupaten Cirebon telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, khususnya padi diantaranya melalui program pengelolaan tanaman sumberdaya terpadu dan peluasan areal tanam.
Model pendampingan
Lebih lanjut Suswono berjanji akan terus memperluas model pendampingan pada budidaya padi, baik melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) maupun non SLPTT.
"Produktivitas padi masih bisa ditingkatkan, sepanjang ada pendampingan dalam penerapan teknologi pertanian. Juga perlu ada kepastian sarana produksi yang tepat waktu," ujar Suswono yang dinilai berhasil di Kabupaten Cirebon, patut dijadikan contoh bagi daerah lain.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komisi 1V DPRRI Herman Khaeron mengatakan, hasil yang rata-arata antara 7-8 ton gabah kering giling (GKG)/hektar dan hasil ubinan yang mencapai 9,98 ton gabah kering pungut (GKP) per hektar merupakan pencapaian yang luar biasa karena di daerah lain masih antara 7-8 ton per hektare.
DPR dan Pemerintah sangat serius memperhatikan petani. Di antaranya dilakukannya revisi Undang-undang Pertanian. "Bahkan kami sedang membahas Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Ini salah satu bukti pemerintah itu memperhatikan petani," kata Herman. (evin astuti)
Penetapan prioritas tersebut untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Guna mewujudkan ketahanan pangan nasional tersebut, pemerintah khususnya Kementan tahun 2011 ini, telah menetapkan target produksi padi nasional sebesar 70,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau meningkat tujuh persen dibandingkan produksi tahun 2010.
Berdasarkan angka ramalan (ARAM II) BPS produksi pada nasional tahun 2011 sebesar 68,062 juta ton GKG, sementara angka tetap 2010 ARAM II padi meningkat 1,592 juta ton GKP (2,4 persen).
"Jika di bandingkan dengan target produksi padi tahun 2011, masih terdapat kekurangan produksi padi 2,538 juta ton GKG (3,59 persen)," kata Menteri Pertanian (Mentan) Suswono usai melakukan panen perdana di Desa Gegesik Kolun, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Sabtu (10/9).
Untuk mengejar kekurangan target produksi sebesar 2,538 juta ton GKG tersebut, Kementan melakukan upaya percepatan dengan cara peningkatan produktivitas padi di areal SL-PTT dan non SL-PTT, bantuan benih unggul dan bantuan langung pupuk, irigasi, dan bantuan alat mesin pertanian serta pendamping atau penyuluh pertanian.
Suswono mengingatkan, agar setiap bupati di Indonesia tidak mudah memberikan izin alih fungsi lahan di daerahnya. Karena alih fungsi lahan saat ini sudah sangat memprihatinkan.
"Saya sangat prihatin atas banyaknya alih fungsi lahan ini. Sekarang sawah dikepung bangunan di tengah tegah sawah ada rumah. Lahan produktif kita banyak yang beralihfungsi, padahal kekurangan pangan adalah masalah besar," tuturnya.
Menurutnya, pengembangan demonstrasi farm (demfarm) di lima kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, dan kabupaten Karawang merupakan salah satu contoh kolaborasi yang baik antara petani, peneliti, penyuluh, POPT dan stakeholders dari kalangan BUMN.
Sementara itu, dalam sambutannya, Bupati Cirebon Dedi Supardi yang dibacakan Wakil Bupati Ason Sukasa mengatakan, dalam rangka peningkatan produksi beras nasional dilakukan demonstrasi farm di dua lokasi di Kabupaten Cirebon seluas masing-masing lima hektar.
Pertama, di Desa Pekantingan, Kecamatan Klangenan, dan kedua, di Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik. Kegiatan ini merupakan kerja sama kemitraan antara Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, PT Pupuk Kujang, PT Petro Kimia Kayaku, PT Sang Hyang Sri, dan BKP5K Kabupaten Cirebon. Teknologi yang diterapkan, meliputi pembelajaran sekolah lapang agribisnis padi.
Di Desa Pekantingan, produktivitas padi mencapai 8,3 ton GKP. Adapun di Desa Gegesik mencapai 9,8 ton GKP. Sebelumnya, produktivitas padi di dua desa itu hanya 7 ton GKP. Varietas padi yang digunakan Ciherang produksi PT Sang Hyang Sri.
Adapun uji coba yang dilakukan di desa Ciawi, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, dengan varietas Inpari 13 mencapai produktivitas 9 ton GKP.
"Melihat hasil itu, menunjukkan produktivitas padi masih bisa ditingkatkan. Para petani berharap model serupa bisa dikembangkan di daerah lain, karena terbukti mampu meningkatkan pendapatan bagi petani," kata Dedi Supardi.
Pada panen tahun ini, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berhasil menghasilkan 9,6 juta ton gabah kering panen (GKP).
Meski dihadapi beberapa kendala dalam sektor pertanian, Kabupaten Cirebon telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, khususnya padi diantaranya melalui program pengelolaan tanaman sumberdaya terpadu dan peluasan areal tanam.
Model pendampingan
Lebih lanjut Suswono berjanji akan terus memperluas model pendampingan pada budidaya padi, baik melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) maupun non SLPTT.
"Produktivitas padi masih bisa ditingkatkan, sepanjang ada pendampingan dalam penerapan teknologi pertanian. Juga perlu ada kepastian sarana produksi yang tepat waktu," ujar Suswono yang dinilai berhasil di Kabupaten Cirebon, patut dijadikan contoh bagi daerah lain.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komisi 1V DPRRI Herman Khaeron mengatakan, hasil yang rata-arata antara 7-8 ton gabah kering giling (GKG)/hektar dan hasil ubinan yang mencapai 9,98 ton gabah kering pungut (GKP) per hektar merupakan pencapaian yang luar biasa karena di daerah lain masih antara 7-8 ton per hektare.
DPR dan Pemerintah sangat serius memperhatikan petani. Di antaranya dilakukannya revisi Undang-undang Pertanian. "Bahkan kami sedang membahas Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Ini salah satu bukti pemerintah itu memperhatikan petani," kata Herman. (evin astuti)
Latihan buat Blog bagi PPL
Membuat blog bagi sebagian orang mungkin sudah biasa. Tetapi bagi yang ikut pelatihan multimedia di BKP3 kab Kediri tgl 22 mei 2012, blog masih jadi pertanyaan "makanan apakah itu?"
tetapi sekarang sudah bisa...buktinya sekarang sudah jadi meski masih sederhana. nih masih berlanjut...sabar ya untuk mengikuti pelatihan ini.......................
tetapi sekarang sudah bisa...buktinya sekarang sudah jadi meski masih sederhana. nih masih berlanjut...sabar ya untuk mengikuti pelatihan ini.......................
Langganan:
Postingan (Atom)