Pada tanggal 29
Januari sampai 4 Februari 2013,saya ditugaskan olek BKP3 Kab Kediri untuk
mengikuti Diklat Pengolahan ubi Kayu dan Ubi Jalar di Balai Besar Pelatihan
Pertanian (BBPP) Ketindan Malang. Banyak hal menarik yang saya temui disana,
selain menimba pengetahuan dan ter”bebas” dari rutinitas harian di Kecamatan
Grogol juga bertemu dengan banyak teman PPL
dari berbagai daerah. Banyak teman baru tentunya juga berbagi pengalaman baru dari
daerah masing-masing. Ada teman dari Kabupaten Gunung Kidul bercerita tentang
potensi ubi kayu dan ubi jalar di daerahnya. Hampir semua cerita yang ada
kurang lebih sama dengan cerita saya baik tentang petani, sosial ekonomi dan
segala hal tentang pertanian, “biasa sajalah” kata saya.
Tetapi ada satu perilaku petani yang membuat saya kagum. Di
Gunung Kidul ternyata masih memegang teguh budaya “lumbung Pangan”. “Wah ini
bisa jadi inspirasi nyata” pikir saya. Di Gunung Kidul secara topografi merupakan
daerah pegunungan dengan kondisi tanah lempung berbatu, sehingga ubi kayu
potensi sekali. Bahkan selain nasi, ubi kayu merupakan makanan pendamping yang
masih digemari. Bukan karena daerah miskin, tetapi memang ubi kayu populer di
sana.
Budaya yang masih membudaya secra turun temurun adalah
setiap panen (baik padi maupun ubi kayu) “pasti” ada yang disimpan untuk
lumbung pangan. Sehingga smpai musim tanam berikutnya, cadangan pangan ada dan
stabil untuk kebutuhan keluarga. Padi mudah disimpan, untuk ubi kayu dibuat
gaplek supaya bisa disimpan, dan kalaupun ingin menjual dijual sedikit-sedikit
sesuai kebutuhan.
Kalau didengarkan seolah-olah “kampungan” ya…namun inilah
kearifan lokal yang sudah terbukti ampuh untuk stabilitas ketahanan pangan dan
“bebas” dari gejolak harga pangan, bahkan krisis moneter global sekalipun.
Inilah pelajaran penting, bagi yang menanam supaya jangan beli. Hayo petani
jangan hanya terpengaruh kemajuan jaman, namun lupa kearifan lokal……boleh
di”uangkan” tetapi disisihkan untuk cadangan makanan rumah tangga. Hidup lumbung
pangan…….(Prasetyo)